A.
Peta Normatif
Hubungan Negara dan Warga Negara
Tugas utama
Pendidikan Kewarganegaraan adalah memberikan pencerahan informasi tentang
hubungan antar warga negara dengan negara. Hal itu
senada dengan konsepnya, yakni senantiasa komitmen dalam mengajarkan pengetahuan
hubungan antara warga negara dengan negara yang
menggunakan embrio materi tentang “hak dan kewajiban”.
Kendatipun
demikian, konsep hubungan antara warga negara dengan negara masih sering menimbulkan
persoalan yang bersifat dilematis. Hubungan antara warga negara dan negara, juga
kerapkali dipersepsikan dalam bahasa yang “latah”. Apakah dalam proses hubungan
itu negara harus berada
di atas warga negara ataukah
justru menempatkan keduanya dalam hubungan kesejajaran. Apakah negara harus
mencampuri urusan asasi warga negara ataukah
sebuah perlakuan yang ‘ditabukan’.
Dalam wacana
Pendidikan Kewarganegaraan, negara harus
diposisikan sejajar dengan warga negaranya. Masyarakat (warga negara) tidak
dilawankan dengan negara, akan tetapi
justru dipersepsikan sebagai ‘mitra’ hubungan antara keduanya. Selama negara masih berada
diatas warga negara atau
masyarakat, hubungan antara keduanya tidak akan bisa berlangsung secara
harmonis. Padahal, keharmonisan ini menjadi kata kunci yang menentukan segala-galanya.
Dalam kaitan itu,
Gouldner (1998) menegaskan bahwa hubungan antara masyarakat dan negara tidak selalu
selamanya berkonotasi normatif, tetapi juga bersifat empirik. Secara normatif,
hubungan hubungan negara dan warga negara harus selalu
berpegang pada hak dan kewajiban yang melakat pada keduanya sehingga proses
dialogisnya berlangsung secara demokratis, adil, dan harmonis dengan bersandar
pada norma yang dipersyaratkan oleh konstitusi. Etika hubungan yang hendak
dikembangkan dalam proses komunikasi antara negara dengan warga negara (masyarakat) harus berlangsung secara resiprosiret (timbal balik). Sebaliknya,
secara empiric bisa bisa jadi hubungan antara negara dan warga negara justru
melanggar norma bangsa dan negara yang telah
disepakati bersama. Jika hal itu terjadi, pola hubungan negara dan warga negara harus
dikembalikan pada hubungan yang bersifat konstitusional dan bukan
inkonstitusional.
Ketika salah satu
di antaranya mengingkari komitmen konstitusi sebagai dasar dan standar
normative, hubungan inti mulai terkoyak dan biasanya warga negara (masyarakat)
selalu berada pada posisi yang lemah (memang sengaja dilemahkan). Melalui
instrumen kekuasaan, negara bisa
melakukan cara-cara yang kasar (represif) atau bisa juga dengan cara yang
paling ‘halus’ (hegemonik) untuk mengelabuhi warga negara atau
masyarakat agar legitimasi masyarakat selalu masyarakat selalu mengalir kepada negara. Akibatnya
keberadaan masyarakat (warga negara) menjadi
‘tak berimbang’ dengan negara.
Untuk membangun
hubungan antara negara dengan warga
negara secara adil
dan berimbang, normatif, dan etik, dapat ditempuh melalui langkah-langkah
berikut:
1.
Inventarisasi variabel yang melekat
pada diri warga negara.
2.
Inventarisasi variabel yang melekat
pada organisasi negara.
3.
Menghubungkan variabel yang melekat
pada diri warga negara dengan
variabel yang melekat pada organisasi negara.
4.
Mempersepsikan hubungan kedua variabel
(warga negara dan negara) identik
dengan hubungan hak dan kewajiban antara keduanya.
5.
Mencari dasar norma sebagai ‘pembenar’
hubungan antara warga negara dengan negara, yang
bersumber dari jiwa dan nilai-nilai konstitusi.
0 komentar:
Posting Komentar