Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Blogger Template Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 02 Mei 2012

Economic Sharia

SEJARAH EKONOMI ISLAM

Kontribusi kaum muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Buku-buku teks ekonomi Barat hampir tidak pernah menyebutkan peranan kaum muslimin ini. Menurut Chapra, meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum muslimin, namun Barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia.
Para sejarahwan Barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif. Sebagai contoh, sejarahwan sekaligus ekonom terkemuka, Joseph Schumpeter, sama sekali mengabaikan peranan kaum muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya dari para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Adalah hal yang sangat sulit untuk dipahami mengapa para ilmuwan Barat tidak menyadari bahwa sejarah pengetahuan merupakan suatu proses yang berkesinambungan, yang dibangun di atas fondasi yang diletakkan para ilmuwan generasi sebelumnya. Jika proses evolusi ini disadari dengan sepenuhnya, menurut Chapra, Schumpeter mungkin tidak mengasumsikan adanya kesenjangan yang besar selama 500 tahun, tetapi mencoba menemukan fondasi di atas mana para ilmuwan Skolastik dan Barat mendirikan bangunan intelektual mereka.
Sebaliknya, meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, kaum muslimin tidak lupa mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India, dan Cina. Hal ini sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendekiawan Muslim masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Sejalan dengan ajaran Islam tentang pemberdayaan akal fikiran dengan tetap berpegang teguh pada Alquran dan hadis Nabi, konsep dan teori ekonomi dalam Islam pada hakikatnya merupakan respon para cendekiawan Muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa pemikiran ekonomi Islam seusia Islam itu sendiri.
Berbagai praktek dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah saw dan al-Khulafa al-Rasyidun merupakan contoh empiris yang dijadikan pijakan bagi para cendekiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori ekonominya. Satu hal yang jelas, fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan, dan kebebasan, yang tidak lain merupakan objek utama yang menginspirasikan pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.
Berkenaan dengan hal tersebut, Siddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tiga fase, yaitu: fase dasar-dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase stagnasi, sebagai berikut:
1.        Fase Pertama
Fase pertama merupakan fase abad awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyah atau abad ke-11 Masehi yang dikenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para fukaha, diikuti oleh sufi dan kemudian oleh filosof. Pada awalnya, pemikiran mereka berasal dari orang yang berbeda tetapi, di kemudian hari, para ahli harus mempunyai dasar pengetahuan dari ketiga disiplin tersebut. Fokus fikih adalah apa yang diturunkan oleh syariah dan, dalam konteks ini, para fukaha mendiskusikan fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbatas pada penggambaran dan penjelasan fenomena ini. Namun demikian, dengan mengacu pada Alquran dan hadis Nabi, mereka mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan mafsadah (disutility) yang terkait dengan aktivitas ekonomi. Pemikiran yang timbul terfokus pada apa manfaat sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian bila melaksanakan sesuatu yang dilarang agama. Pemaparan ekonomi para fukaha tersebut mayoritas bersifat normatif dengan wawasan positif ketika berbicara tentang perilaku yang adil, kebijakan yang baik, dan batasan-batasan yang diperbolehkan dalam kaitannya dengan permasalahan dunia.
Sedangkan kontribusi utama tasawuf terhadap pemikiran ekonomi adalah pada keajegannya dalam mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, tidak rakus dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah swt, dan secara tetap menolak penempatan tuntutan kekayaan dunia yang terlalu tinggi. Sementara itu, filosof Muslim, dengan tetap berasaskan syariah dalam keseluruhan pemikirannya, mengikuti para pendahulunya dari Yunani, terutama Aristoteles (367-322 SM), yang fokus pembahasannya tertuju pada sa’adah (kebahagiaan) dalam arti luas. Pendekatannya global dan rasional serta metodologinya syarat dengan analisis ekonomi positif dan cenderung makroekonomi. Hal ini berbeda dengan para fukaha yang terfokus perhatiannya pada masalah-masalah mikroekonomi.
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase pertama ini antara lain diwakili oleh Zaid bin Ali (w. 80 H/738 M), Abu Hanifah (w. 150 H/767 M), Abu Yusuf (w. 182 H/798 M), asy-Syaibani (w. 189 H/804 M), Abu Ubaid bin Sallam (w. 224 H/838 M), Harits bin Asad al-Muhasibi (w. 243 H/858 M), Junaid al-Baghdadi (297 H/910 M), Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M), dan al-Mawardi (450 H/1058 M).

a.        Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M)
Cucu Imam Husain ini merupakan salah seorang fukaha yang paling terkenal di Madinah dan guru dari seorang ulama terkemuka, Abu Hanifah. Zaid bin Ali berpandangan bahwa penjualan suatu barang secara kredit dengan harga yang lebih tinggi daripada harga tunai merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah dan dapat dibenarkan selama transaksi tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha antar kedua belah pihak.
Pada dasarnya, keuntungan yang diperoleh para pedagang dari penjualan yang dilakukan secara kredit merupakan murni bagian dari sebuah perniagaan dan tidak termasuk riba. Penjualan yang dilakukan secara kredit merupakan salah satu bentuk promosi sekaligus respon terhadap permintaan pasar. Dengan demikian, bentuk penjualan seperti ini bukan suatu tindakan di luar kebutuhan. Keuntungan yang diperoleh pedagang yang menjual secara kredit merupakan sebuah bentuk kompensasi atas kemudahan yang diperoleh seseorang dalam membeli suatu barang tanpa harus membayar secara tunai.
Hal tersebut tentu berbeda dengan pengambilan keuntungan dari suatu penangguhan pembayaran pinjaman. Dalam hal ini, peminjam memperoleh suatu aset, yakni uang, yang harganya tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu, karena uang itu sendiri adalah sebagai standar harga. Dengan kata lain, uang tidak dengan sendirinya menghasilkan sesuatu. Ia baru akan dapat menghasilkan jika dan hanya jika melalui perniagaan dan pertukaran dengan barang-barang yang harganya sering berfluktuatif.
Namun demikian, keuntungan yang diperoleh dari penjualan secara kredit tidak serta merta mengindikasikan bahwa harga yang lebih tinggi selalu berkaitan dengan waktu. Seseorang yang menjual secara kredit dapat pula menetapkan harga yang lebih rendah daripada harga pembeliannya dengan maksud untuk menghabiskan stok dan memperoleh uang tunai karena khawatir harga pasar akan jatuh di masa datang. Dengan maksud yang sama, seseorang dapat juga menjual barangnya, baik secara tunai ataupun kredit, dengan harga yang lebih rendah daripada harga pembeliannya.
Hal yang terpenting dari permasalahan ini adalah bahwa dalam syariah, setiap baik buruknya suatu akad ditentukan oleh akad itu sendiri, tidak dihubungkan dengan akad yang lain. Akad jual beli yang pembayaranya ditangguhkan adalah suatu akad tersendiri dan memiliki hak sendiri untuk diperiksa apakah adil atau tidak, tanpa dihubungkannya dengan akad lain. Dengan kata lain, jika diketemukan fakta bahwa dalam suatu kontrak yang terpisah, harga yang dibayar tunai lebih rendah, hal itu tidak mempengaruhi keabsahan akad jual beli kredit dengan pembayaran yang lebih tinggi, karena kedua akad tersebut ndependent dan berbeda satu sama lain.
b.        Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
Abu Hanifah merupakan seorang fuqaha terkenal yang juga seorang pedagang di kota Kufah yang ketika itu merupakan pusat aktivitas perdagangan dan perekonomian yang sedang maju dan berkembang. Semasa hidupnya, salah satu transaksi yang sangat populer adalah salam, yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada waktu akad disepakati. Abu Hanifah meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada perselisihan. Ia mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad, seperti jenis komoditi, mutu, dan kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman. Ia memberikan persyaratan bahwa komoditi tersebut harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan tanggal pengiriman sehingga kedua belah pihak mengetahui bahwa pengiriman tersebut merupakan sesuatu yang mungkin dapat dilakukan.
Pengalaman dan pengetahuan tentang dunia perdagangan yang didapat langsung Abu Hanifah sangat membantunya dalam menganalisis masalah tersebut. Salah satu kebijakan Abu Hanifah adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah transaksi. Hal ini merupakan salah satu tujuan syariah dalam hubungannya dengan jual beli. Pengalamannya di bidang perdagangan memungkinkan Abu Hanifah dapat menentukan aturan-aturan yang adil dalam transaksi ini dan transaksi yang sejenis.
Di samping itu, Abu Hanifah mempunyai perhatian yang besar terhadap orang-orang yang lemah. Ia tidak akan membebaskan kewajiban zakat terhadap perhiasan dan, sebaliknya, membebaskan pemilik harta yang dililit utang dan tidak sanggup menebusnya dari kewajiban membayar zakat. Ia juga tidak memperkenankan pembagian hasil panen (muzara'ah) dalam kasus tanah yang tidak menghasilkan apa pun. Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap yang umumnya adalah orang-orang yang lemah.
c.        Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)
Penekanan terhadap tanggung jawab penguasa merupakan tema pemikiran ekonomi Islam yang selalu dikaji sejak awal. Tema ini pula yang ditekankan Abu Yusuf dalam surat panjang yang dikirimkannya kepada Penguasa Dinasti Abbasiyah, Khalifah Harun al-Rasyid. Di kemudian hari, surat yang membahas tentang pertanian dan perpajakan tersebut dikenal sebagai Kitab al-Kharaj.
Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam pandangannya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dalam hal pajak, ia telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam adminisitrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya.
Abu Yusuf dengan keras menentang pajak pertanian. la menyarankan agar petugas pajak diberi gaji dan perilaku mereka harus selalu diawasi untuk mencegah korupsi dan praktek penindasan.
Poin kontroversial dalam analisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah pengendalian harga (tas'ir). Ia menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada sunnah Rasul. Abu Yusuf menyatakan bahwa hasil panen yang berlimpah bukan alasan untuk menurunkan harga panen dan, sebaliknya, kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung. Pendapat Abu Yusuf ini merupakan hasil observasi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada kemungkinan kelebihan hasil dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan kelangkaan dengan harga yang rendah. Namun, di sisi lain, Abu Yusuf juga tidak menolak peranan permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.
Penting diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan harga dengan menambah suplai bahan makanan dan mereka menghindari kontrol harga.
2.        Fase Kedua
Fase kedua yang dimulai pada abad ke-11 sampai dengan abad ke-15 Masehi dikenal sebagai fase yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Para cendekiawan muslim di masa ini mampu menyusun sutu konsep tentang bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya yang berlandaskan Alquran dan hadis Nabi. Pada saat yang bersamaan, di sisi lain, mereka menghadapi realitas politik yang ditandai oleh dua hal: pertama, disintegrasi pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dan terbaginya kerajaan ke dalam beberapa kekuatan regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan (power) ketimbang kehendak rakyat; kedua, merebaknya korupsi di kalangan para penguasa diiringi dengan dekadensi moral di kalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang semakin melebar antara si kaya dengan si miskin. Pada masa ini, wilayah kekuasaan Islam yang terbentang dari Maroko dan Spanyol di Barat hingga India di Timur telah melahirkan berbagai pusat kegiatan intelektual. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase ini antara lain diwakili oleh al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M), asy-Syatibi (w. 790 H/1388 M), Ibnu Khaldun (w. 808 H/1404 M), dan al-Maqrizi (845 H/1441 M).
Nasution, Mustafa Edwin. 2007. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,           Jakarta:Kencana

0 komentar:

Posting Komentar